I. MASA AWAL PENGINTEGRASIAN (1963–1969)
Operasi Trikora (1961–1963)
Tujuan: Mengintegrasikan Papua (saat itu dikuasai Belanda) ke wilayah Indonesia.
Dijalankan sebelum pengambilalihan resmi Papua oleh Indonesia dari UNTEA (1963).
TNI melakukan infiltrasi militer untuk memperkuat klaim Indonesia atas wilayah tersebut.
Pendudukan Militer 1963
Setelah UNTEA menyerahkan Papua ke Indonesia, TNI masuk dan mendirikan pos militer di banyak wilayah.
Penolakan masyarakat terhadap integrasi menyebabkan gesekan, dan muncul benih-benih OPM.
II. OPERASI DI ERA ORDE BARU (1970–1998)
Operasi Wibawa (1970-an)
Bertujuan menumpas gerakan OPM yang mulai aktif di wilayah pegunungan dan perbatasan Papua Nugini.
Penangkapan, penyiksaan, dan eksekusi terhadap warga sipil terjadi.
Operasi Sapu Bersih (1977–1978) – Jayawijaya
Menyasar wilayah Pegunungan Tengah.
Serangan udara dilakukan dengan pesawat tempur dan helikopter.
Banyak kampung dibakar, ribuan warga mengungsi ke hutan dan ke Papua Nugini.
Diduga ratusan hingga ribuan korban jiwa.
Operasi Tumpas & Operasi Kasuari
Operasi militer yang berfokus pada penghapusan basis-basis OPM di pesisir dan pedalaman.
Melibatkan penindasan warga sipil yang diduga membantu gerilyawan.
Militerisasi Luas
Pada masa Orde Baru, Papua menjadi salah satu daerah dengan jumlah pos militer terbanyak per kapita di Indonesia.
Kehadiran TNI/Polri masuk hingga desa-desa, dan sering diikuti kekerasan serta pemerasan terhadap masyarakat.
III. OPERASI MILITER ERA REFORMASI (1998–2025)
Wasior Berdarah (2001)
Menyusul pembunuhan Brimob oleh warga, dilakukan penyisiran dan balas dendam oleh aparat.
Penyiksaan, penangkapan tanpa proses hukum, dan pembunuhan terjadi.
Komnas HAM menyatakan ini sebagai pelanggaran HAM berat.
Wamena Berdarah (2003)
Terjadi setelah pencurian senjata dari markas militer.
TNI melakukan penyisiran brutal: rumah dibakar, perempuan diperkosa, anak-anak tewas.
Ribuan warga mengungsi.
Operasi di Puncak Jaya & Pegunungan Tengah (2004–2010)
TNI dan Polri terus melakukan operasi penyisiran terhadap OPM.
Sekolah ditutup, warga sipil mengungsi, dan akses jurnalis dibatasi.
Operasi Pengamanan PEPERA Jilid II (tidak resmi)
Upaya represif terhadap aktivis yang mempertanyakan keabsahan Pepera 1969.
Penangkapan, penghilangan paksa, dan pembungkaman demonstrasi pro-kemerdekaan.
IV. OPERASI MILITER TERBARU (2018–2025)
Nduga Berdarah (2018–sekarang)
Dimulai setelah penembakan 17 pekerja Trans Papua oleh kelompok bersenjata.
TNI menggelar operasi besar-besaran.
Bom udara, pembakaran rumah, pengusiran warga. Lebih dari 60.000 warga mengungsi hingga 2023.
Beberapa sekolah dan gereja menjadi sasaran.
Operasi di Intan Jaya (2020–2021)
Tujuan: menumpas kelompok bersenjata di area tambang emas ilegal.
Pendeta Yeremia Zanambani dibunuh — laporan internal menyebut keterlibatan TNI.
Terjadi gelombang pengungsian besar.
Operasi Damai Cartenz (2022–sekarang)
Merupakan rebranding dari Operasi Nemangkawi.
Berbasis pada pembinaan dan penindakan kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Kritik: tetap represif, tidak menyentuh akar konflik politik dan HAM.
Operasi Militer Tak Resmi 2023–2025
Pada beberapa kabupaten seperti Yahukimo, Pegunungan Bintang, dan Maybrat, terjadi operasi militer "terbuka" tanpa status darurat resmi.
Warga sipil terus menjadi korban: pengungsian, trauma, pendidikan lumpuh.
POLA UMUM DARI SELURUH OPERASI MILITER (1963–2025)
1. Pendekatan represif dan militeristik: Alih-alih pendekatan dialog dan kesejahteraan, negara mengedepankan kekuatan senjata.
2. Kekerasan terhadap sipil: Operasi sering menyasar warga biasa yang diduga membantu OPM.
3. Pengungsian besar-besaran: Puluhan ribu warga Papua mengungsi dari kampung ke hutan akibat trauma atau serangan aparat.
4. Impunity: Hampir tidak ada aparat yang dihukum akibat kekerasan terhadap sipil.
5. Penggunaan isu “KKB” untuk menjustifikasi operasi militer berkepanjangan.
KESIMPULAN
Rangkaian operasi militer Indonesia di Papua dari 1963 hingga 2025 menunjukkan pola kekerasan struktural, pengendalian politik melalui kekuatan senjata, dan penindasan terhadap aspirasi rakyat Papua. Meski dilakukan dengan dalih menjaga NKRI, pendekatan ini justru memperdalam luka sejarah, memperkuat sentimen kemerdekaan, dan terus mendorong munculnya siklus kekerasan baru.
Sumber : Akun FB Willy Leterasi..
0 comments:
Posting Komentar