JAYAPURA, ANDARIAS
GIYAI NEWS - Rambut gimbal dan keriting adalah ciri khas Orang Asli Papua
(OAP). Namun, apa jadinya bila satu-satunya yang tersisa sebagai kebanggaan dan
simbol identitas mereka, hendak direggut juga?
Jadilah dia simbol perlawanan.
Hal ini tergambar dari kisah Rosa
Wendi, seorang periset independen dan aktivis gerakan penentuan nasib sendiri
Papua, yang ia tuturkan kepada Veronica Koman, seorang pengacara HAM untuk
Papua. Kisah itu kemudian diterbitkan sebagai bagian dari liputan tentang Papua
oleh majalah New Internationalist,sebuah media independen yang berbasis di
London dan mengkhususkan diri dalam reportase investigatif di bidang HAM,
politik, sosial dan keadilan lingkungan.
Media yang telah mendapatkan
berbagai penghargaan internasional ini (antara lain dari Amnesty International
dan PBB) mengkhususkan edisi bulan Mei-nya untuk menampilkan gerakan penentuan
nasib sendiri di Papua dari berbagai sudut, yang di dunia internasional kini
semakin mendapatkan panggung.
Salah satu bagian dari edisi
khusus itu, menampilkan suara-suara dari kalangan akar rumput, seperti Rosa
Moiwend dan empat orang Papua lainnya. Narasi yang ditampilkan ini, dapat
menjadi gambaran faktual tentang apa dan bagaimana gerakan yang memperjuangkan
penentuan nasib sendiri di Papua, yang kurang banyak terungkap selama ini.
"Hidup di Papua berarti
selalu ada sesuatu yang terjadi yang mengingatkan kami pada pendudukan,"
kata Rosa, memulai ceritanya.
"Kami melihat diskriminasi,
rasisme dan kekerasan di depan mata setiap hari," lanjut perempuan yang bermukim
di Jayapura itu.
Kakek dan neneknya mengalami
(masa) Tri Komando Rakyat (Trikora, tahun 1961), yang menurut hemat dia tak
lain dari invasi militer oleh Indonesia.
"Saat itu, keluarga saya
tinggal di desa Ninati di selatan. Sebagian besar keluarga harus melarikan diri
menyeberangi perbatasan ke Papua Nugini - hanya kakek saya yang tinggal. Desa
tua kami itu sekarang telah dihuni oleh suku-suku lain, dan kami telah
kehilangan kontak dengan semua keluarga yang melintasi perbatasan. Itu adalah
kerugian pribadi terbesar bagi keluarga kami," kata Rosa.
Bagi Rosa, apa yang ia pandang
sebagai pendudukan Indonesia atas Papua bukan hanya soal teritorial, tetapi
juga mengubah pola pikir OAP dan mengubah bagaimana OAP melihat diri mereka
sendiri.
"Kami diajarkan hal-hal yang
salah di sekolah, terutama tentang sejarah kami. Ini adalah semacam perbudakan
mental: ajaran dan doktrin Indonesia mengatakan kepada kami 'karena kami orang
Papua, kami pantas diperlakukan tidak adil', dan kami tidak sadar telah
menerima ini," kata dia.
Rosa mengatakan identitas Papua
mereka lama-lama seakan berubah menjadi Indonesia. Dan ia memandang hal itu
berbahaya sebab itu adalah inti diri mereka sebagai Papua.
"Kami berubah menjadi
seperti orang Indonesia. Standar kami diubah menjadi standar Indonesia."
Mengalaminya Langsung
Rosa tak hanya membual. Semua
yang ia ungkapkan itu berangkat dari pengalamannya langsung. Soal diskriminasi
dan soal pemaksaan identitas.
"Saya dulu adalah pembaca
berita sore di sebuah acara TV lokal. Dulu saya memiliki rambut gimbal pendek.
Produser meminta saya untuk mengubah gaya rambut saya. Dia menyuruh saya
meninggalkan gaya rambut gimbal dan meluruskan rambut saya sehingga terlihat
'lebih rapi', sesuai dengan standar TV nasional. Saya menolak, lagi pula yang saya
bawa adalah acara Lensa Papua, seharusnya menunjukkan bagaimana Papua yang
sebenarnya, tetapi mereka ingin mengubah saya. Mereka kemudian memindahkan saya
ke bagian di luar kamera, dan saya berhenti," kisah Rosa.
Sampai hari ini Rosa masih
memelihara rambut gimbalnya.
Ia kemudian mengenang ketika pada
16 Maret 2006 di Jayapura, setiap orang yang berambut gimbal ditangkap dan
rambut mereka dipotong. Ini berlanjut selama dua minggu.
"Selama masa itu, banyak
penduduk asli memotong rambut mereka. Saya tidak ingin melakukan ini, jadi saya
bersembunyi sebentar dan tidak pulang ke rumah," tutur dia.
Bagi Rosa, rambut gimbal bukan
sekadar soal rambut. "Kami memiliki rambut gimbal bukan karena kami suka
reggae atau Rasta, tapi sebagai ideologi. Gimbal adalah identitas saya. Banyak
teman saya dengan rambut gimbal merasakan hal yang sama. Gimbal telah menjadi
simbol perlawanan dan simbol kebebasan Papua, sebuah tantangan terhadap apa
yang telah diajarkan oleh negara Indonesia kepada kami."
Dulu semasa sekolah, ketika
melihat orang lain memiliki rambut lurus, Rosa memimpikan memiliki rambut
panjang dan lurus.
"Kami dulu semua begitu.
Bahkan mainan kami mengacu pada identitas orang lain. Hal yang sama dengan
produk kecantikan. Misalnya, tidak ada bedak yang sesuai dengan warna kulit
kami di toko."
Untungnya, kata Rosa, perlawanan
sangat kuat dan juga semakin populer sekarang ini.
"Ada banyak t-shirt yang
bertuliskan, 'Saya adalah orang Papua, rambut keriting dan kulit gelap', yang
semakin populer di kalangan pemuda di banyak kota."
Memelihara Identitas di Tengah
Represi
Meskipun demikian ia menyadari
represi identitas kePapuaan atas orang Papua akan terus berlanjut. Apa yang
mereka dapatkan di sekolah akan membentuk karakter mereka.
Oleh karena itu, lanjut Rosa,
tergantung pada orang tua untuk mengajar anak-anak mereka: tentang siapa mereka
dan apa identitas mereka sebagai orang Papua. Jika orang tua tidak melakukan
itu, kata dia, bisa berbahaya, karena pada saat ketika Papua akhirnya bebas
(merdeka, Red), generasi yang mengambil kendali akan menjadi generasi yang
berpikiran seperti pemerintah yang menduduki wilayah mereka saat ini.
Akibatnya, kata Rosa, mereka harus bekerja keras lagi untuk melawan kaum mereka
sendiri.
"Jadi gerakan pembebasan ini
bukan hanya tentang ketahanan fisik tapi juga tentang melawan pola pikir,"
ia menambahkan.
Satu hal yang menurut dia telah
berubah adalah pembicaraan tentang pembebasan Papua kini sudah lebih terbuka.
"Ketika saya masih kecil, kami mendengar orang tua kami berbisik saat
membicarakan politik - mereka harus melakukannya di dalam rumah. Sekarang, ini
lebih terbuka dan kami bisa melihatnya bahkan di media mainstream. Itulah hasil
karya kolektif banyak orang."
Peran Perempuan Papua
Rosa menambahkan perempuan selalu
terlibat dalam gerakan demi pembebasan Papua, tetapi mereka sering mengambil
peran berbeda dari pria.
Pria Papua sering melihat peran
perempuan kurang penting atau kurang heroik. Padahal, itu tidak sepenuhnya
benar, terutama karena banyak juga perempuan yang memainkan peran kepemimpinan
penting.
Ia menunjuk contoh Mama Yosepha
Alomang, pemenang penghargaan Goldman Environmental Prize 2001. Walaupun ia
tidak pernah duduk di bangku sekolah, ia mampu mengorganisasikan para perempuan
untuk memblokade bandara dan pertambangan Freeport, tanpa ada pria yang
terlibat.
"Sekarang gerakan ini
berubah. Semakin terbuka dan perempuan semakin banyak yang mengambil bagian
dalam peran yang berbeda-beda."
Editor : Eben E. Siadari
0 komentar:
Posting Komentar