Oleh : Herman Degei *)
Pertama kali sa lihat foto di atas, sa pikir itu di
Papua. Karena perlakuan demikian masih sering sa temukan di Papua. Tetapi tidak.
Setelah sa cari tahu lewat internet, ternyata itu orang-orang Afrika di
Guangzhou, sebuah kota di China Selatan. Mereka disana diperlakukan rasis oleh
penduduk setempat di tempat-tempat umum seperti tempat kerja, di dalam
kendaraan umum, dan dalam hal berbisnis. Mereka juga sering dikambinghitamkan
dalam berbagai hal di kalangan masyarakat.*
Suatu pagi
di pertengahan bulan April 2005, sa ikut sa pu bapa ke kota. Ketika itu, sa pu
bapa mau kasih masuk radionya yang telah rusak di servis. Karena libur, sa
ikut. Saat itu sa kelas II SD. Kami pu rumah di Nabire, di kampung Bumi Mulia,
kecamatan Wanggar. Dari kami pu rumah ke kota jaraknya sekitar 27 Km atau
setara dengan 27000 meter. Kalau mau ke kota biasanya naik mobil angkutan.
Pagi itu,
kami jalan ke persimpangan jalan, tunggu mobil disana. Tidak lama kemudian,
mobil datang, kami naik, lalu berangkat. Saat kami naik su ada 6 penumpang. 3
orang pendatang (imigran dari luar Papua), 3 orang asli Papua. Beberapa meter
ketika mobil yang kami tumpangi melesat, beberapa penumpang naik lagi, sehingga
penumpang di mobil menjadi penuh. Di deretan kursi di depan kami, empat orang
duduk. 1 orang pendatang, 3 orang asli Papua.
Yang
pendatang mengenakan jilbab. Tentu saja karena ia muslim. Mereka berempat
perempuan. Sa lihat, perempuan itu menutup hidungnya dengan sapu tangan.
Padahal ketika sa pastikan, tak ada asap rokok, tak ada yang sakit flu, dan
tampaknya perempuan tersebut juga sehat-sehat. Dari situ, sa mulai
bertanya-tanya. Kenapa?
* * *
Ceritera
pengalaman diatas adalah kali pertama saya menyaksikan perlakuan rasialisme
anti-Papua oleh “pendatang” di Papua. Tidak sedang mengada-ada, sebagian besar
orang pendatang di Papua hingga hari ini masih berlaku demikian. Mereka
memperlakukan kami orang asli Papua disana tak ubahnya seperti sampah. Secara
rasional, kalau misal orang Papuanya saat itu sedang/baru saja minum miras
(yang berbau) atau sedang bersentuhan dengan sampah yang berbau menyengat,
dstnya, itu masih wajar. Tapi ini tidak.
Sampai
sekarang banyak orang Papua masih bertanya. Mingkinkah karena kami berbau tidak
sedap? Tidak! Mungkinkah karena kami ini sampah? Tapi jelas-jelas kami bukan
sampah. Dstnya. Atau mungkin benar seperti kata kawan saya dalam suatu
kesempatan saat diskusi, bahwa pasti mereka memperlakukan kami demikian karena
kami berambut keriting dan berkulit hitam - yang itu menjadi pembeda
dengan mereka.
“Dorang
memperlakukan kita begitu baru kenapa dorang masih menghendaki keras untuk kita
tetap bersatu, NKRI harga mati, dll. Kita su beda dari dorang secara ras,
rambut, warna kulit, bangsa, dan suku bangsa. Su begitu, dorang memperlakukan
kita seperti sampah lagi. Lebih baik kita cepat merdeka saja sudah. Malas,”
kata kawan saya yang lain, bernada kecewa.
Apa yang
dikatakan kawan saya diatas benar. Seperti fenomena standar ganda tentang
restriksi terhadap wartawan asing yang ingin meliput di Papua oleh pemerintah
Indonesia, sebagian pendatang di Papua masih bersikap rasis terhadap kami orang
asli Papua. Mereka tinggal disana, hidup disana, tapi mereka tidak menghargai
harkat dan martabat kami orang asli Papua disana.
Di Papua
maupun di luar Papua dalam teritorial Indonesia, tidak ada bedanya, karena
orang Papua masih sering diperlakukan rasis (dan kadang juga masih
dikriminalisasi). Beberapa saat lalu, pada pertengahan 2016, salah satu kawan
mahasiswi asal Papua di UGM diperlakukan rasis oleh salah satu pegawai keamanan
disana (baca: Rasisme Terang-terangan di UGM). Sementara itu, kawan-kawan
mahasiswa Papua di Sulawesi pun menurut pengakuan salah satu kawan saya, mereka
acapkali diperlakukan rasis. Mereka katanya sering diteriaki “Yaki” yang
artinya monyet hitam.
* * *
Perbuatan
yang tak lain adalah pengebirian terhadap keberagaman ini agaknya cuma masih
terus dipelihara di Indonesia. Dulu pada tahun 1980-an, ketika Filep Karma muda
kuliah di Solo, dia juga berhadapan dengan rasialisme anti-Papua, anti-kulit
hitam, anti-rambut keriting. Seperti tulis Andreas Harsono dalam sebuah tulisan
panjang: Perjuangan Seorang Pegawai Negeri Papua, Karma
mengatakan, “Itu saya rasakan dari teman-teman yang kuliah. Jadi bukan dari
masyarakat yang tidak berpendidikan saja, tapi juga dari kalangan
berpendidikan. Mereka memperlakukan kami begitu. Seringkali kami di kata-katai,
‘Monyet! Ketek!’”
“Kami yang
dari Papua, selalu dianggap setengah binatang. Kami dianggap seakan-akan kami
ini evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia. Kami
dianggap sebagai proses teori Darwin yang belum selesai. Seakan–akan kami ini
setengah manusia, setengah hewan.” Demikian blak-blakan Filep Karma kepada
Andreas Harsono, penulis buku Agama saya adalah jurnalisme.
Rasialisme sungguh melukai hati Filep Karma, dan tentu juga kami orang Papua
yang lain.
Berbeda
dengan di Filipina, ketika pada 1997 Karma mengikuti kursus setahun di Asian
Institute of Management di Manila. Disana, ia merasakan suasana baru, beda
dengan suasana yang dia alami di Papua maupun di Jawa. “Di Filipina, saya
dihargai sebagai manusia seutuhnya dan tak ada pelecehan, penghinaan atau
perlakuan diskriminasi. Itu yang saya rasakan dalam pergaulan maupun ketika
saya berbelanja di supermarket atau di pasar. Dalam pergaulan dengan masyarakat
di sana, saya merasa dihargai, sebagai sesama seperti mereka. Jadi saya
dianggap bagian dari mereka atau dalam istilah Jawadiwongke atau
dimanusiakan, tidak seperti yang pernah saya alami di Papua atau di Jawa,”
katanya.
Pengakuan
senada juga diungkapkan Felix Degei, salah satu penerima beasiswa LPDP dari
Papua, yang sedang belajar di negeri kanguru bagian selatan. Katanya, disana,
relasinya dengan baik sesama sivitas akademik maupun dengan warga setenpat
baik-baik saja, seperti biasa. Singkatnya apa yang dia alami disana tak beda
jauh dengan apa yang dirasakan Filep Karma ketika di Manila, Filipina.
“Saya
disana malah dihargai oleh warga maupun sesama sivitas akademik. Tidak ada yang
namanya diskriminasi, saling merendahkan derajat manusia, dll. Apalagi mereka
yang tahu bahwa saya merupakan salah satu penerima beasiswa paling bergengsi di
Indonesia dari Papua. Mereka disana rata-rata punya rasa respek yang besar,”
kata Felix melalui WA beberapa saat lalu.
* * *
Mungkin
ini budaya warisan. Dulu saat Indonesia dijajah orang Belanda, orang Belanda
memperlakukan orang Indonesia, terutama orang Jawa, sebagai inlander,
bau, jorok, kotor, kampungan, bodoh dstnya. Sekarang setelah Indonesia merdeka,
kami orang Papua yang diperlakukan demikian. Semoga misalnya kalau kita (Papua)
sudah merdeka nanti, kita tidak mengulangi perbuatan seperti ini.
Sangat
disayangkan. Padahal Tuhan menciptakan kita berbeda (kami pu kulit hitam,
kalian pu kulit sawo matang, kami pu rambut keriting, kalian pu rambut lurus,
dstnya) supaya kita saling menghargai dan saling berbaur. Tuhan sebenarnya
mungkin bisa saja menciptakan kita seragam, tapi Tuhan sengaja menciptakan kita
beragam supaya kita saling menghargai antara satu dengan yang lain. Bukan malah
menjadikan keberagaman itu sebagai ancaman. Kata Gus Dur, memuliakan manusia
berarti memuliakan pencipta-Nya. Merendahkan manusia berarti merendahkan
pencipta-Nya.
Di Papua
maupun di luar Papua dalam teritorial Indonesia, kami masih kalian perlakukan secara
tidak adil. Diskriminasi rasial hingga kriminalisasi masih sering kami rasakan.
Cacing pun kalau diinjak pasti akan bergerak, meronta-ronta atas
ketidaknyamanan. Apalagi manusia. Seperti kata Adnan Buyung Nasution, sengaja
atau tidak, mau atau tidak mau kalian akan kehilangan kami karena memang kalian
gagal merebut hati kami orang Papua.
Kalian
manusia, kami manusia, kita sama-sama manusia. Secara ras kami beda dengan
kalian, kalian beda dengan kami. Tapi bukankah kita diciptakan oleh Tuhan yang
sama? Mari memupuk keberagaman yang ada dengan hidup saling menghargai selama
waktu yang ‘tersisa’ ini. (*)
*) Penulis
adalah mahasiswa Papua, kuliah di Yogyakarta
Sumber : http://www.majalahbeko.com/2017/10/seakan-kami-sampah.html
0 komentar:
Posting Komentar