Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) 10 Desember 1948, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
semua bangsa tentang manusia dan kemanusiannya.
Bahwa sesungguhnya setiap manusia memiliki kodrat sebagai mahluk
mulia ciptaan Tuhan yang harus dilindungi. Manusia berhak atas hidup yang
bebas, tanpa perbudakan, intimidasi, apalagi pembunuhan.
Deklarasi tersebut berhasil menjawab keprihatinan bangsa-bangsa
serta banyak negara-negara yang mengalami dampak buruk tragedi Perang Dunia I
dan Perang Dunia II 1948. Sehingga deklarasi tersebut ditindaklanjuti, dengan
berbagai kovenan internasional, konvensi internasional, dan diterjemahkan
menjadi peraturan perundang-undang HAM nasional di setiap negara.
Seperti Kovenan Internasional Hak Sipil Politik ( SIPOL),
Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB). Selanjutnya,
Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), Konvensi Penghapusan Diskiminasi Rasial (CERD),
Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hak
Anak (CRC).
Inilah konstitusi HAM Internasional yang telah di dukung oleh
negara-negara anggota PBB dengan meratifikasi setiap kovenan serta konvensi,
dan selanjutnya diterjemahkan kedalam peraturan perundangan-undangan HAM
nasional mereka, untuk memenuhi, melindungi, menghormati manusia di setiap
negara.
Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB turut mendukung
keputusan internasional tersebut dengan meratifikasi (mengesahkan) keputusan
tersebut setelah kejatuhan rezim kediktatoran Soeharto pada 1998 dengan
mengeluarkan produk undang-undang HAM Nasional No 39 tahun 1999. Diikuti dengan
undang-undang peradilan HAM Nasional No 26 Tahun 2000.
Pada tahun 2005 Indonesia ikut meratifikasi Kovenan EKOSOB
dengan UU No 11 Tahun 2005 dan UU No 12 Tahun 2005 untuk Hak-hak Sipil Politik.
Berikut dengan semua konvensi.
Tetapi dalam prakteknya masih belum bisa terlepas dari
tindakan-tindakan pelanggran HAM terhadap warga negaranya. Undang-undang No 39
tahun 1999 tentang HAM Nasional, seolah-olah menjadi instrument tanpa kekuatan,
karena belum mampu dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Begitu juga dengan undang-undang peradilan HAM Nasional yang
tidak banyak bekerja. Sehingga yang terjadi adalah konflik HAM kolektif yang
tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat Indonesia di seluruh Nusantara. Tidak
ada solusi yang benar-benar dapat menyelesaiakan persoalan HAM Nasional secara
tuntas.
Seperti itu juga yang terjadi di Papua, sebagai Provinsi termuda
di Indonesia, Papua memiliki sejarah integrasi yang berbeda. Berbagai operasi
militer yang menjadi satu kesatuan program nasional sejak 1961, diperparah 1967
Freeport diizinkan mengelola SDA Papua, justru menjadi salah satu penyebab
persoalan HAM di Papua.
Untuk pelanggaran hak-hak SIPOL belum ada satu persoalan yang benar-benar
diselesaikan, seperti peristiwa Arfai 1965, peristiwa Mapenduma 1976, peristiwa
Mapenduma 1996, peristiwa Biak berdarah 1998, peristiwa Wamena berdarah 2000,
peristiwa Merauke berdarah 2000, pembunuhan Theys Hiyo Eluay 2001, peristiwa
Abepura berdarah 2006. Semua peristiwa itu disertai dengan penangkapan,
penyiksaan, dan pemenjaraan orang Papua.
Berbagai peristiwa itu terus terjadi hingga di masa kepemimpinan
Presiden Jokowi saat ini. Seperti pembunuhan 4 siswa di Pania 8 Desember 2014
yang digolongkan sebagai kasus pelanggran HAM berat, namun tidak diselesaikan
sampai sekarang.
Papua wilayah selatan sebagai suatu kesatuan Tanah Papua, juga
tidak lepas dari pelanggaran HAM . Seperti penganiayaan yang dialami oleh
Blasius Sumaghai di Bade 2014, Penembakan kaki Yeremias Kaipman di Merauke
2015, penganiayaan Xaverius Tambaip dan Ronald Ambungun di Merauke 2016,
penganiayaan Oktovianus Beteop di Merauke 2017, Pembunuhan Isak Kua, dan
pelecehan sexsual saudara perempuan dari Isak Kua November 2017.
Bahkan untuk hak-hak EKOSOB, Papua wilayah Selatan menjadi yang
terdepan di Papua. karena letak geografis berawa-rawa, serta savana yang luas,
wilayahnya berpotensi sebagai lumbung pangan, telah menjadi perhatian negara
sejak 2007, dimana saat itu telah dicanangkannya pemerintah daerah dengan nama
MIRE.
Dengan dasar itu pemerintah merencanakan Merauke sebagai lumbung
pangan nasional dan internasional dengan membuat program raksasa bernama
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Bahkan pemerintah pusat
membuat produk hukum nasional untuk mempertegas investasi skala besar MIFEE.
Yaitu PP No 28 Tahun 2008, Inpres No 5 Tahun 2008, hingga PP No 18 diterbitkan
pada 2010.
Program ini telah mengambil 1,6 juta lahan milik masyarakat, dan
dikatakan oleh Presiden Jokowi akan menjadi 4,26 juta hektar. Satu kebijakan
luar biasa yang benar-benar telah melupakan kearifan lokal masyarakat Malind
secara khusus, dan umumnya masyarakat Papua selatan. Mayoritas masyarakat yang
masih hidup dan tergantung dengan alam, serta budayanya, dipaksa meninggalkan
segalanya untuk beralih kepada puluhan perusahan-perusahaan yang masuk dengan
berbagai klasifikanya itu. Kelapa sawit 316.347 hektar, Perkebunan tebu 156.812
hektar, Perkebunan jagung 97.000 hektar, Hutan Tanaman Industri (HTI)
973.057,56 hektar,Tanaman pangan 69.000 hektar, Pengolahan kayu Serpih 2.818
hektar, Pembangunan dermaga 1.200 hektar
Masyarakat Papua Selatan yang tidak terbiasa melakukan
kerja-kerja Industri, dipaksa terlibat menjadi tenaga kerja kasar, karena tidak
memiliki skill, pendidikan yang rendah, sehingga tidak dapat bersaing dengan
tenaga kerja asing yang datang memenuhi kebutuhan perusahaan tersebut. Yang
terjadi adalah diskriminasi terhadap masyarakat asli, marjinalisasi dalam
kehidupan ekonomi, dan yang terburuk dari itu adalah masyarakat kehilangan
sumber hidup utama mereka, seperti tanah, hutan, hingga sumber air.
Hutan-hutan adat yang selama ini menjadi sumber inspirasi
kultural mereka lenyap oleh lahan perkebunuan dan perusahaan Sawit yang tidak
dapat mensejahterakan mereka di atas tanah leluhur mereka sendiri.
Masyarakat Papua yang sadar akan dampak buruk berbagai investasi
perusahaan-perusahaan ini, tidak jarang melakukan protes-protes terhadap
kebijakan pemerintah, tetapi dibalas dengan sikap tak acu pemerintah.
Sebaliknya militer yang seharusnya menjaga keamanan, mengayomi masyarakat,
justru menaggapi protes masyarakat dengan cara-cara yang represif. Seperti yang
terjadi di Kampung Muting, Kampung Senegi, kampung Yeiwid. Juga Kampung Ampera,
kampung Ikisi, Kampung Navini, Kampung Yare, Kampung Salamepe.
Bahkan di seluruh kampung-kampung adat masyarakat di wilayah
Papua Selatan yang tersebar, Merauke, Asmat, Mappi, hingga Boven Digoel,
mengalami hal yang sama. Janji-janji kesejahteraan itu berbading terbalik
dengan kenyataan yang ada.
Tuntutan
Dengan demkian kami menuntut dengan tegas kepada pemerintahan
Presiden Jokowi, pemerintah Provinsi Papua hingga pemerintah Kabupaten di
wilayah Papua Selatan, bahwa;
1. Kembalikan kedaulatan Tanah dan Hutan Adat Masyarakat Papua
Selatan;
2. Tolak Mega Industri Merauke Integrated Food and Energy Estate
( MIFEE) yang telah mengambil lebih dari 1,6 juta hektar tanah Masyarakat Adat
di Papua Selatan;
3. Tutup PT Korindo Group yang tidak membawah dampak pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat di Papua Selatan selama 25 tahun beroperasi di
Papua;
4. Pemerintah segera menetapkan peraturan daerah tentang
komunitas masyarakat hukum adat serentak di seluruh kabupaten di Provinsi
Papua;
5. Peninjauan dan Pemberhentian seluruh perizinan dan aktivitas
perusahaan yang melanggar HAM dengan pengrusakan hutan Papua, yang merupakan
paru-paru dunia;
6. Menolak dengan tegas upaya Menkopolhukan Wiranto yang
mendorong penyelesaian berbagai kasus HAM dalam Dewan Kerukunan Nasional (DKN),
sebab tidak akan memberikan keadilan kepada orang asli Papua yang adalah
korban;
7. Adili pelaku pembunuhan Isak Kua melalui peradilan HAM
Nasional dengan transparan;
8. Hentikan proses denda uang terhadap korban yang hanya
mengkerdilakan hukum selama ini, dan membuat aparat Militer TNI dan POLRI
menjadi terbiasa, dan legal melakukan kekerasan dan pembunuhan di Papua
Selatan;
9. Tangkap dan adili anggota TNI yang melakukan pelecehan
seksual kepada saudara perempuan dari Isak Kua berinisial VK;
10. Jangan ada pembiaran terhadap peredaran Miras di Papua
Selatan. Sebab telah mengorbankan masa depan generasi muda dan masyarakat,
karena kebiasaan mengkonsumsi Miras tersebut. Kami mendesak ditutup perizinan
Miras di seluruh wilayah Papua Selatan.
11. DPRD segera mendesak Polisi segera mengusut tindakan teror,
kekerasan, dan pembacokan warga masyarakat oleh orang tidak dikenal, yang
selama ini menyusahkan warga masyarakat di Merauke.
Demikian adalah tuntutan kami, Aliansi Masiswa Papua Selatan
Peduli HAM. Kami mendesak pimpinan DPRD, Bupati, pimpinan TNI/POLRI Kabupaten,
untuk menindaklanjuti tuntutan-tuntutan kami ini sebagaimana mestinya. Terima
Kasih.
Penanggunjawab :
ALIANSI MAHASISWA PAPUA SELATAN PEDULI HAM
Himpunan Mahasiswa Malind (HMM-MUSAMUS)
Urbanus Kiaf Yolmen (Ketua)
Ikatan Pelajar Mahasiswa Kampung Bamol
Alex Waffa (Ketua)
Gerakan Mahasiswa Pemuda & Rakyat Papua- Kota Merauke
(GempaR-Merauke)
Andreas Kahol (Ketua)
Pelaksana Aksi
Frans Wanima (Kordinator Umum Aksi)
Posted pada 11/12/2017 oleh Tribun Arafura
0 komentar:
Posting Komentar