PERNYATAAN SIKAP ALIANSI MAHASISWA PAPUA SELATAN PEDULI HAM MEMPERINGATI HARI HAM SEDUNIA TAHUN 2017

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 10 Desember 1948, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran semua bangsa tentang manusia dan kemanusiannya.
Bahwa sesungguhnya setiap manusia memiliki kodrat sebagai mahluk mulia ciptaan Tuhan yang harus dilindungi. Manusia berhak atas hidup yang bebas, tanpa perbudakan, intimidasi, apalagi pembunuhan.
Deklarasi tersebut berhasil menjawab keprihatinan bangsa-bangsa serta banyak negara-negara yang mengalami dampak buruk tragedi Perang Dunia I dan Perang Dunia II 1948. Sehingga deklarasi tersebut ditindaklanjuti, dengan berbagai kovenan internasional, konvensi internasional, dan diterjemahkan menjadi peraturan perundang-undang HAM nasional di setiap negara.
Seperti Kovenan Internasional Hak Sipil Politik ( SIPOL), Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB). Selanjutnya, Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), Konvensi Penghapusan Diskiminasi Rasial (CERD), Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hak Anak (CRC).
Inilah konstitusi HAM Internasional yang telah di dukung oleh negara-negara anggota PBB dengan meratifikasi setiap kovenan serta konvensi, dan selanjutnya diterjemahkan kedalam peraturan perundangan-undangan HAM nasional mereka, untuk memenuhi, melindungi, menghormati manusia di setiap negara.
Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB turut mendukung keputusan internasional tersebut dengan meratifikasi (mengesahkan) keputusan tersebut setelah kejatuhan rezim kediktatoran Soeharto pada 1998 dengan mengeluarkan produk undang-undang HAM Nasional No 39 tahun 1999. Diikuti dengan undang-undang peradilan HAM Nasional No 26 Tahun 2000.
Pada tahun 2005 Indonesia ikut meratifikasi Kovenan EKOSOB dengan UU No 11 Tahun 2005 dan UU No 12 Tahun 2005 untuk Hak-hak Sipil Politik. Berikut dengan semua konvensi.
Tetapi dalam prakteknya masih belum bisa terlepas dari tindakan-tindakan pelanggran HAM terhadap warga negaranya. Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang HAM Nasional, seolah-olah menjadi instrument tanpa kekuatan, karena belum mampu dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Begitu juga dengan undang-undang peradilan HAM Nasional yang tidak banyak bekerja. Sehingga yang terjadi adalah konflik HAM kolektif yang tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat Indonesia di seluruh Nusantara. Tidak ada solusi yang benar-benar dapat menyelesaiakan persoalan HAM Nasional secara tuntas.
Seperti itu juga yang terjadi di Papua, sebagai Provinsi termuda di Indonesia, Papua memiliki sejarah integrasi yang berbeda. Berbagai operasi militer yang menjadi satu kesatuan program nasional sejak 1961, diperparah 1967 Freeport diizinkan mengelola SDA Papua, justru menjadi salah satu penyebab persoalan HAM di Papua.
Untuk pelanggaran hak-hak SIPOL belum ada satu persoalan yang benar-benar diselesaikan, seperti peristiwa Arfai 1965, peristiwa Mapenduma 1976, peristiwa Mapenduma 1996, peristiwa Biak berdarah 1998, peristiwa Wamena berdarah 2000, peristiwa Merauke berdarah 2000, pembunuhan Theys Hiyo Eluay 2001, peristiwa Abepura berdarah 2006. Semua peristiwa itu disertai dengan penangkapan, penyiksaan, dan pemenjaraan orang Papua.
Berbagai peristiwa itu terus terjadi hingga di masa kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini. Seperti pembunuhan 4 siswa di Pania 8 Desember 2014 yang digolongkan sebagai kasus pelanggran HAM berat, namun tidak diselesaikan sampai sekarang.
Papua wilayah selatan sebagai suatu kesatuan Tanah Papua, juga tidak lepas dari pelanggaran HAM . Seperti penganiayaan yang dialami oleh Blasius Sumaghai di Bade 2014, Penembakan kaki Yeremias Kaipman di Merauke 2015, penganiayaan Xaverius Tambaip dan Ronald Ambungun di Merauke 2016, penganiayaan Oktovianus Beteop di Merauke 2017, Pembunuhan Isak Kua, dan pelecehan sexsual saudara perempuan dari Isak Kua November 2017.
Bahkan untuk hak-hak EKOSOB, Papua wilayah Selatan menjadi yang terdepan di Papua. karena letak geografis berawa-rawa, serta savana yang luas, wilayahnya berpotensi sebagai lumbung pangan, telah menjadi perhatian negara sejak 2007, dimana saat itu telah dicanangkannya pemerintah daerah dengan nama MIRE.
Dengan dasar itu pemerintah merencanakan Merauke sebagai lumbung pangan nasional dan internasional dengan membuat program raksasa bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Bahkan pemerintah pusat membuat produk hukum nasional untuk mempertegas investasi skala besar MIFEE. Yaitu PP No 28 Tahun 2008, Inpres No 5 Tahun 2008, hingga PP No 18 diterbitkan pada 2010.
Program ini telah mengambil 1,6 juta lahan milik masyarakat, dan dikatakan oleh Presiden Jokowi akan menjadi 4,26 juta hektar. Satu kebijakan luar biasa yang benar-benar telah melupakan kearifan lokal masyarakat Malind secara khusus, dan umumnya masyarakat Papua selatan. Mayoritas masyarakat yang masih hidup dan tergantung dengan alam, serta budayanya, dipaksa meninggalkan segalanya untuk beralih kepada puluhan perusahan-perusahaan yang masuk dengan berbagai klasifikanya itu. Kelapa sawit 316.347 hektar, Perkebunan tebu 156.812 hektar, Perkebunan jagung 97.000 hektar, Hutan Tanaman Industri (HTI) 973.057,56 hektar,Tanaman pangan 69.000 hektar, Pengolahan kayu Serpih 2.818 hektar, Pembangunan dermaga 1.200 hektar
Masyarakat Papua Selatan yang tidak terbiasa melakukan kerja-kerja Industri, dipaksa terlibat menjadi tenaga kerja kasar, karena tidak memiliki skill, pendidikan yang rendah, sehingga tidak dapat bersaing dengan tenaga kerja asing yang datang memenuhi kebutuhan perusahaan tersebut. Yang terjadi adalah diskriminasi terhadap masyarakat asli, marjinalisasi dalam kehidupan ekonomi, dan yang terburuk dari itu adalah masyarakat kehilangan sumber hidup utama mereka, seperti tanah, hutan, hingga sumber air.
Hutan-hutan adat yang selama ini menjadi sumber inspirasi kultural mereka lenyap oleh lahan perkebunuan dan perusahaan Sawit yang tidak dapat mensejahterakan mereka di atas tanah leluhur mereka sendiri.
Masyarakat Papua yang sadar akan dampak buruk berbagai investasi perusahaan-perusahaan ini, tidak jarang melakukan protes-protes terhadap kebijakan pemerintah, tetapi dibalas dengan sikap tak acu pemerintah. Sebaliknya militer yang seharusnya menjaga keamanan, mengayomi masyarakat, justru menaggapi protes masyarakat dengan cara-cara yang represif. Seperti yang terjadi di Kampung Muting, Kampung Senegi, kampung Yeiwid. Juga Kampung Ampera, kampung Ikisi, Kampung Navini, Kampung Yare, Kampung Salamepe.
Bahkan di seluruh kampung-kampung adat masyarakat di wilayah Papua Selatan yang tersebar, Merauke, Asmat, Mappi, hingga Boven Digoel, mengalami hal yang sama. Janji-janji kesejahteraan itu berbading terbalik dengan kenyataan yang ada.
Tuntutan
Dengan demkian kami menuntut dengan tegas kepada pemerintahan Presiden Jokowi, pemerintah Provinsi Papua hingga pemerintah Kabupaten di wilayah Papua Selatan, bahwa;
1. Kembalikan kedaulatan Tanah dan Hutan Adat Masyarakat Papua Selatan;
2. Tolak Mega Industri Merauke Integrated Food and Energy Estate ( MIFEE) yang telah mengambil lebih dari 1,6 juta hektar tanah Masyarakat Adat di Papua Selatan;
3. Tutup PT Korindo Group yang tidak membawah dampak pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Papua Selatan selama 25 tahun beroperasi di Papua;
4. Pemerintah segera menetapkan peraturan daerah tentang komunitas masyarakat hukum adat serentak di seluruh kabupaten di Provinsi Papua;
5. Peninjauan dan Pemberhentian seluruh perizinan dan aktivitas perusahaan yang melanggar HAM dengan pengrusakan hutan Papua, yang merupakan paru-paru dunia;
6. Menolak dengan tegas upaya Menkopolhukan Wiranto yang mendorong penyelesaian berbagai kasus HAM dalam Dewan Kerukunan Nasional (DKN), sebab tidak akan memberikan keadilan kepada orang asli Papua yang adalah korban;
7. Adili pelaku pembunuhan Isak Kua melalui peradilan HAM Nasional dengan transparan;
8. Hentikan proses denda uang terhadap korban yang hanya mengkerdilakan hukum selama ini, dan membuat aparat Militer TNI dan POLRI menjadi terbiasa, dan legal melakukan kekerasan dan pembunuhan di Papua Selatan;
9. Tangkap dan adili anggota TNI yang melakukan pelecehan seksual kepada saudara perempuan dari Isak Kua berinisial VK;
10. Jangan ada pembiaran terhadap peredaran Miras di Papua Selatan. Sebab telah mengorbankan masa depan generasi muda dan masyarakat, karena kebiasaan mengkonsumsi Miras tersebut. Kami mendesak ditutup perizinan Miras di seluruh wilayah Papua Selatan.
11. DPRD segera mendesak Polisi segera mengusut tindakan teror, kekerasan, dan pembacokan warga masyarakat oleh orang tidak dikenal, yang selama ini menyusahkan warga masyarakat di Merauke.
Demikian adalah tuntutan kami, Aliansi Masiswa Papua Selatan Peduli HAM. Kami mendesak pimpinan DPRD, Bupati, pimpinan TNI/POLRI Kabupaten, untuk menindaklanjuti tuntutan-tuntutan kami ini sebagaimana mestinya. Terima Kasih.

Penanggunjawab :
ALIANSI MAHASISWA PAPUA SELATAN PEDULI HAM
Himpunan Mahasiswa Malind (HMM-MUSAMUS)
Urbanus Kiaf Yolmen (Ketua)
Ikatan Pelajar Mahasiswa Kampung Bamol
Alex Waffa (Ketua)
Gerakan Mahasiswa Pemuda & Rakyat Papua- Kota Merauke (GempaR-Merauke)
Andreas Kahol (Ketua)
Pelaksana Aksi
Frans Wanima (Kordinator Umum Aksi)

Posted pada 11/12/2017 oleh Tribun Arafura


Share on Google Plus

ABOUT ME Andy Giyai

Hidup berjuang demi masyarakatku yang selalu di tindis, di bunuh, di rampok, di siksa seperti binatang buruan di hutan oleh Militerisme Aparat Polisi dan Tentara Nasional Indonesia dan di curi, di rampas serta di kuras habis hasil kekayaan alamku pribumi West Papua oleh negara Indonesia dengan mengupdate berbagai Informasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi di atas tanahku Papua Barat melalui media Web Online pribadi atau di dunia internasional secara berimbang dan beragam".
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar