Ilustrasi gambar. Sumber : majalah weko
Penulis : Rudy Pravda*
Tidak mudah menyuguhkan gambaran
yang benar dan meyakinkan kepada rakyat Indonesia, tentang apa yang terjadi
terhadap bangsa West Papua (rakyatnya). Begitu susah meyakinkan betapa
dahsyatnya pembersihan sosial (pembunuhan dan pembantaian masal) yang di alami
oleh mereka (Rakyat Papua), sepanjang tahun 1961-2017. Peristiwa politik
seiring dengan peristiwa kemanusiaan yang secara sistematis terus di lakukan
tanpa henti, hingga membuat jumlah manusia semakin berkurang, menemui ajalnya.
Teror merupakan satu-satunya senjata, sedangkan pembunuhan adalah teknisnya
yang di lakukan oleh kolonial indonesia, lewat aparatusnya (TNI-Polri), yang
disokong kekuatan modal Borjuis nasional dan imprealisme asing.
Sudah benar kata Ali Murtopo pada tahun 1966. Bahwa, mereka
tidak butuh rakyat Papua (manusianya), yang di butuhkan adalah tanah, air,
kekayaan alamnya, udara, dan semua yang ada merupakan modal menjadi uang. Bila
saja rakyat Papua berkeinginan merdeka, silahkan angkat kaki dari tanah Papua,
keluar, ataupun minta Amerika Serikat menyiapkan tempat di planet lain untuk
mereka. Maka dengan jelas perkataan Ali Murtopo, adalah upaya pembasmian Ras
Melanesia (rakyat Papua), tidak saja yang tua, maupun yang muda, perempuan
maupun laki-laki, anak-anak, maupun dewasa, tapi semua yang bernapas (hidup)
harus di habiskan.
Itulah sebabnya, kemerdekaan Papua secara de-facto tidak
di akui (bahwa mereka sudah memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri),
kenyataan 1 Desember 1961 Hari Kemerdekaan mereka, Lambang Negaranya (Burung
Mambruk), Lagu Kebangsaan (Hai Tanah ku Papua), dan pengalaman sepanjang
berjuang melawan kolonialisme Belanda 64 tahun di jajah adalah bukti
dari keterlibatan langsung yang terwujud dalam pengalaman melawan dan sebuah hikmat berjuang mereka.
Secara de-jure bahkan
tak di akui, bahwa kemerdekaan rakyat Papua adalah legal di mata hukum
internasional, terutama resolusi PBB mensyaratkan hak menentukan nasib sendiri,
begitupun dengan legalnya konstitusi Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak
segala bangsa.
Tetapi apa boleh disangka, melihat Papua adalah modal
(setumpukan harta kekayaan) yang harus dipertahankan, harus direbut, harus
dibutuhkan, selayaknya tanpa itu semua maka tak bisa hidup lebih baik lagi.
Disana berdiri raksasa penghisapan dan penindasan yang dibelenggu modal/uang
dari (Amerika serikat, Jepang, Australia, Afrika
Selatan, China,
indonesia, dll) berkisar 20-an gedung-gedung raksasa penghisapan hasil kekayaan
alamnya, dan berkepentingan untuk minoritas orang-orang kaya (kapitalis dan
Borjuis nasional) juga kepentingan purnawirawan.
Pulau yang modelnya seperti
(burung kasuari), mulai dari ekor sampai kepala menjadi peta penghasilan yang
segemunung harapan menjadi jaya dan mapan. Gunung-gunung yang diselimuti salju,
sungai yang mengalir sampai daratan bibir pantai, tanah yang ramah, kering,
pegunungan, juga pesisir, bahkan semua kebutuhan dari alam yang perawan, harus
dirubah menjadi sampah limbah emas, nikel, kelapa sawit, dan seterusnya
mengalir ke Eropa, Amerika, juga untuk orang-orang mapan Indonesia.
Melihat mereka rakyat Papua:
Apalah arti hidup ini jika aku
tak bisa bertemu dengan mereka, berjuang bersama mereka, bahkan menjelaskan
kepada mereka bahwa dari populasi rakyat Indonesia 250 juta jiwa 99% tidak
menghargai hak kemanusiaan kalian, dan hanya 1% orang-orang yang berani bersama
dengan kalian, mempertaruhkan hidup dan mati untuk siapa (untuk bangsa yang
dijajah oleh bangsa penjajah).
Bermodal kesadaran politik, kami belajar dari
kalian tentang keberanian, berkorban, hasrat ingin bebas, baik hati, ramah
berkemanusiaan, cinta dan sayang sesama, juga merelakan hidup harus dicaci
maki. Demi, kami bangsa yang tak mau menjadi bagian dari penjajahan, bagian
dari perampokan, bagian dari pembunuhan, bagian dari mempertahankan rasisme,
dan seterus-seterusnya.
Apa arti hidup ini bila tak bisa
bertemu dengan rakyat Papua. Sedang Di mata sendiri melihat rakyat Papua
dikebiri bagai binatang, melihat di depan mata mereka dihayati, melihat rakyat
Papua, kehilangan hak manusianya, melihat rakyat Papua setiap hari menanggis
mengenang saudaranya menjadi korban kebengisan penjajah, melihat rakyat Papua,
semakin hari terus tersiksa.
Apa arti hidup ini, jika tak berbaik hati berjuang
bersama mereka, merebut kemerdekaan (daulat secara politik, mengatur
ekonominya, dan maju kebudayaannya), tentu adalah cerminan dari menjadi
Indonesia yang lebih baik, bila tak ada lagi turut mempertahankan Papua kedalam
indonesia.
*Selamat; Maju Terus Sampai
Menang*
Penulis adalah
anggota Organisasi Pembebasan kolektif kota Ternate, juga anggota Front Rakyat Indonesia untuk West
Papua.
Sumber : http://aliansimahasiswapapuanews.blogspot.co.id/2017/09/sebuah-catatan-kecil-untuk-kawan-kawan.html
0 komentar:
Posting Komentar