Sebuah foto arsip yang menggambarkan pertemuan antara Presiden Soekarno dengan para pemimpin Papua pada 1963 (Foto: common. Wikimedia)
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sejumlah
dokumen Kementerian Luar Negeri AS dan Kedutaan Besar AS di Jakarta yang semula
dianggap rahasia memberi bukti-bukti baru bahwa aspirasi merdeka rakyat Papua
sudah muncul sebelum wilayah itu berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Dokumen-dokumen
itu bahkan mencatat bahwa sejumlah tokoh pro-kemerdekaan Papua pernah meminta
bantuan dana kepada pemerintah AS pada pertengahan tahun 1960-an untuk melawan
apa yang mereka anggap upaya kolonisasi oleh Indonesia. Namun permintaan itu
ditolak.
Wartawan Associated Press (AP), Stephen Wright,
mengungkapkan keberadaan dokumen itu dalam laporannya yang kemudian dilansir
oleh Washington Post (10/12) dengan judul APNewsBreak: Files Show
Birth of Papua Independence Struggle.
Dokumen-dokumen ini, menurut laporan AP, merupakan bagian dari ribuan halaman komunikasi kabel antara Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar AS di Jakarta dari tahun 1960an yang awal tahun ini di buka untuk umum (dideklasifikasi). Sebanyak 34 peti surat-surat telegram itu disimpan di National Archives and Records Administration AS di Maryland dan para periset sedang berupaya membuatnya dapat diakses secara online.
Dokumen-dokumen ini, menurut laporan AP, merupakan bagian dari ribuan halaman komunikasi kabel antara Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar AS di Jakarta dari tahun 1960an yang awal tahun ini di buka untuk umum (dideklasifikasi). Sebanyak 34 peti surat-surat telegram itu disimpan di National Archives and Records Administration AS di Maryland dan para periset sedang berupaya membuatnya dapat diakses secara online.
Dokumen-dokumen
tersebut, menurut Stephen Wright, menambah bukti historis tentang ketidakpuasan rakyat Papua yang mendalam
terhadap Indonesia, di tengah bentrokan antara kelompok separatis
Papua dengan aparat keamanan Indonesia di Tembagapura, Timika, baru-baru
ini. Isu Papua akhir-akhir ini telah terangkat ke dunia internasional, termasuk
do Sidang Umum PBB.
Salah satu surat
telegram dari Departemen Kemlu AS pada 1966 mencatat "kefasihan dan
intensitas" Markus Kaisiepo, seorang pemimpin Papua yang diasingkan, yang
berbicara dengan pejabat senior AS tentang "Penderitaan yang menyedihkan
orang-orang Papua di bawah kekuasaan Indonesia."
Kaisiepo
mengatakan bahwa orang Papua bertekad untuk memiliki kemerdekaan namun sama
sekali tanpa sumber keuangan atau peralatan militer yang dibutuhkan untuk
"bangkit melawan penindas Indonesia." Kaisiepo bertanya apakah
AS "dapat memberikan uang dan senjata secara diam-diam untuk membantunya
dan gerakannya."
Permintaannya tersebut ditolak. Penolakan yang sama juga dialami oleh Nicolaas Jouwe, salah seorang tokoh yang pernah memperjuangkan kemerdekaan Papua. Selain permintaan bantuan ke AS pada bulan September 1965, permintaan kepada Australia juga diajukan dan mengalami penolakan.
(Catatan: Markus Kaisiepo adalah saudara dari Frans Kaisiepo, yang pada tahun 2013 dinobatkan oleh pemerintah RI sebagai pahlawan Nasional. Nicolaas Jouwe pada tahun 2010 kembali ke Indonesia dari pengasingan di Belanda dan mendapatkan kewarganegaraan sebagai WNI).
Permintaannya tersebut ditolak. Penolakan yang sama juga dialami oleh Nicolaas Jouwe, salah seorang tokoh yang pernah memperjuangkan kemerdekaan Papua. Selain permintaan bantuan ke AS pada bulan September 1965, permintaan kepada Australia juga diajukan dan mengalami penolakan.
(Catatan: Markus Kaisiepo adalah saudara dari Frans Kaisiepo, yang pada tahun 2013 dinobatkan oleh pemerintah RI sebagai pahlawan Nasional. Nicolaas Jouwe pada tahun 2010 kembali ke Indonesia dari pengasingan di Belanda dan mendapatkan kewarganegaraan sebagai WNI).
Sebelum laporan Stephen Wright ini, pada tahun 2004, dokumen yang sebelumnya dianggap rahasia yang terkait dengan Papua, juga telah dideklasifikasi. Dokumen itu pun memunculkan pertanyaan tentang pengambilalihan Papua oleh Indonesia. Dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh Arsip Keamanan Nasional swasta mengindikasikan bahwa pejabat pemerintahan Nixon menyimpulkan bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Papua dicurangi oleh Indonesia untuk keuntungan negara itu sendiri. Namun dokumen itu juga mencatat bahwa Henry Kissinger, penasihat keamanan nasional, menasihati Presiden Richard Nixon untuk mengungkapkan pengertian dan pemahaman tentang aneksasi tersebut, saat berkunjung ke Jakarta.
Militer Menjarah Papua
Dokumen-dokumen
tersebut juga menunjukkan bagaimana pejabat Indonesia menjarah Papua setelah
Indonesia masuk ke wilayah itu pada tahun 1962 dan membuat jatuhnya standar
hidup, yang memicu kemarahan rakyat. Namun, sumber kebencian terbesar adalah
keengganan Indonesia untuk menghormati perjanjian PBB dengan Belanda, yang
diawasi AS, yang mengamanatkan bahwa rakyat Papua akan memutuskan melalui
pemungutan suara apakah akan bergabung dengan Indonesia atau memiliki
pemerintahan sendiri.
Setelah pasukan
PBB meninggalkan Papua, orang Indonesia secara sistematis menjarah bangunan
pemerintah dan mengirim barang rampasan ke Jakarta, menurut telegram pada bulan
April 1966, mengutip Kaisiepo. Rumah sakit yang dibangun oleh Belanda dijarah:
tempat tidur diambil demikian juga peralatan sinar-X dan obat-obatan. Juga
meja-meja diambil dari sekolah-sekolah dan tentara mencuri segala sesuatu
"yang mereka sukai" dari rumah-rumah pribadi.
Telegram lain
yang mengutip misionaris Amerika yang bekerja di Papua menggambarkan kekurangan
pangan yang meluas, dan pejabat Indonesia membeli semua barang konsumsi dan
mengirimnya keluar Papua untuk mendapatkan keuntungan. Sebaliknya, saat
pengiriman barang dan makanan tiba di pelabuhan, tentara Indonesia mengambil alih.
Dokumen tersebut
juga mengungkapkan bahwa aspirasi merdeka rakyat Papua menimbulkan pro-kontra
di dalam Departemen Luar Negeri AS. Dokumen itu menggambarkan bahwa di kalangan
pejabat Deplu AS sendiri terdapat pendukung kemerdekaan Papua.
Pada bulan Agustus
1965, pejabat kedutaan besar AS di Jakarta, Edward E. Masters, merekomendasikan
Kemlu AS membocorkan informasi mengenai pemberontakan rakyat Papua terhadap
penguasa Indonesia di Papua kepada pers dunia. Menurutnya, bila hal ini tidak
diungkap, rakyat Papua akan menderita "penaklukan kolonial yang
sempurna" oleh Indonesia.
Mengutip peran AS
dalam menegosiasikan perjanjian 1962 antara Belanda dan Indonesia, Masters
menulis "Tampaknya kita memiliki tanggung jawab khusus untuk menyaksikan
bahwa persyaratan perjanjian tentang pemenuhan keinginan hakiki rakyat Papua
dihormati."
Sementara itu
berbeda dengan Masters, telegram lain yang ditulis oleh Duta Besar AS untuk
Indonesia, Marshall Green, menggambarkan bahwa rakyat Papua masih hidup dalam
"zaman batu". "Cakrawala mereka sangat terbatas," katanya,
dan mereka tidak dapat menentukan masa depan mereka sendiri. Ini bertentangan
dengan penilaian lain oleh kedutaan besar AS sendiri tentang luasnya keinginan
masyarakat Papua untuk merdeka.
Berita tentang
perlawanan rakyat Papua terhadap Indonesia, yang dimulai sekitar bulan
Maret 1965, mulai bocor dari Papua saat misionaris Amerika yang bekerja di
wilayah tersebut mengunjungi Jakarta dan pejabat kedutaan memperoleh informasi
dari pihak militer Indonesia. Pada bulan Juni 1965, pemberontak Papua
melancarkan serangan skala penuh ke sebuah posko pemerintah di kota Wamena yang
menewaskan setidaknya selusin tentara Indonesia dan sejumlah orang Papua yang
tidak dikenal.
"Tidak
tersedia data jumlah orang Papua yang terbunuh tetapi satu informan
menggambarkannya sebagai 'pembantaian', karena hampir satu-satunya senjata di
tangan orang-orang Papua di dataran tinggi adalah pisau dan busur dan anak
panah," kata sebuah telegram yang dikirim dua bulan kemudian.
Dokumen yang sama melaporkan bahwa pemberontak menguasai sebagian besar Manokwari, sebuah kota pesisir utama, pada awal Agustus dan mempertahankannya selama seminggu sampai dipukul mundur oleh tentara Indonesia. Pembantaian oleh pasukan Indonesia bulan sebelumnya mungkin merupakan katalisator untuk serangan tersebut. Seorang misionaris Belanda mengatakan kepada pejabat A.S. bahwa pemberontak telah menembak tiga tentara yang mengibarkan sebuah bendera di sebuah lembah dekat Manokwari pada akhir Juli.
Dokumen yang sama melaporkan bahwa pemberontak menguasai sebagian besar Manokwari, sebuah kota pesisir utama, pada awal Agustus dan mempertahankannya selama seminggu sampai dipukul mundur oleh tentara Indonesia. Pembantaian oleh pasukan Indonesia bulan sebelumnya mungkin merupakan katalisator untuk serangan tersebut. Seorang misionaris Belanda mengatakan kepada pejabat A.S. bahwa pemberontak telah menembak tiga tentara yang mengibarkan sebuah bendera di sebuah lembah dekat Manokwari pada akhir Juli.
"Reaksi Indo
brutal," kata sebuah telegram yang ditransmisikan pada bulan September
1965. "Tentara pada hari berikutnya menyemburkan peluru pada orang Papua
yang terlihat dan banyak pejalan kaki yang tidak bersalah di jalan ditembak
mati.
Kepahitan yang
diciptakan tidak mudah disembuhkan."
Pada awal 1967, ada desas-desus yang terus berlanjut di dalam dan di luar negeri bahwa 1.000 sampai 2.000 orang Papua telah terbunuh oleh sebuah kampanye pengeboman Angkatan Udara Indonesia. Pemerintah Indonesia menyangkal hal itu, dan mengatakan bahwa yang terbunuh adalah 40 kepala suku dalam "penerbangan" yang dijalankan oleh seorang pembom angkatan udara sebagai tanggapan atas penyergapan terhadap polisi paramiliter, menurut sebuah telegram pada April 1967. Jumlah polisi yang terluka dalam penyergapan: dua orang.
Bukti-bukti Lainnya
Pada awal 1967, ada desas-desus yang terus berlanjut di dalam dan di luar negeri bahwa 1.000 sampai 2.000 orang Papua telah terbunuh oleh sebuah kampanye pengeboman Angkatan Udara Indonesia. Pemerintah Indonesia menyangkal hal itu, dan mengatakan bahwa yang terbunuh adalah 40 kepala suku dalam "penerbangan" yang dijalankan oleh seorang pembom angkatan udara sebagai tanggapan atas penyergapan terhadap polisi paramiliter, menurut sebuah telegram pada April 1967. Jumlah polisi yang terluka dalam penyergapan: dua orang.
Bukti-bukti Lainnya
Bukti-bukti bahwa
sesungguhnya aspirasi merdeka rakyat Papua sudah muncul jauh sebelum integrasi
Papua ke dalam NKRI juga diungkap oleh Yuling Malo, dalam skripsinya yang
berjudul Organisasi Papua Merdeka 1960-1969. Skripsi yang
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra
Program Studi Sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, tahun 2017 itu,
mengutip berbagai kajian yang dilakukan oleh para ahli Indonesia, yang menggambarkan
bahwa rakyat Papua sebelumnya sudah dipersiapkan oleh Belanda untuk memiliki
pemerintahan sendiri.
Dalam salah satu
bagian dari skripsi itu digambarkan bahwa puncak tuntutan rakyat Papua (Barat)
untuk memiliki pemerintahan sendiri terjadi tahun 1960-an. Pada saat itu banyak
tuntutan yang datang kepada pemerintah Belanda sebagai pihak yang memegang
kendali administratif dan politik di Papua Barat, agar Papua Barat diberi
kemerdekaan sebagai negara yang berdaulat.
Menurut Yuling
Malo, upaya Belanda terhadap tuntutan itu adalah Belanda mulai memperkenalkan
suatu bentuk demokrasi yang datang dari atas ke bawah. Bentuk dempkrasi itu
adalah Belanda membentuk suatu badan yang merupakan perwujudan dari demokrasi
di wilayah Papua Barat yang diberi nama Nieuw Guinea Raad atau Dewan Nieuw
Guinea.
Pada bulan
Februari 1961 Belanda melangsungkan pemilihan umum baik langsung maupun tidak
langsung untuk membentuk sebuah parlemen Nieuw Guinea Raad. Menurut Vander
Veur, sekitar 54.000 orang Papua berpartisipasi dalam pemilu dan ketika Dewan
Nieuw diresmikan pad 5 April 1961 orang-orang Papua menduduki 22 kursi
dari 28 kursi yang tersedia.
Yuling Malo
menjelaskan Belanda memang menjanjikan kemerdekaan kepada rakyat Papua melalui
proses dekolonisasi menuju kemerdekaan. Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945, Belanda mempersiapkan kemerdekaan Papua sekaligus untuk
mempertahankan kepentingan dan kontrolnya atas wilayah itu. Oleh sebab itu
Belanda merencanakan untuk memberikan status pemerintahan sendiri kepada Irian
Jaya selambat-lambatnya tahun 1970-an, dan status pemerintahan itu pun
tergantung pada proses kemajuan pemerintahan di Irian Jaya (Papua).
Namun, kemudian Belanda meninggalkan Papua pada akhir bulan Desember 1962 yang diikuti pula oleh perginya tokoh pro-kemerdekaan Papua yang anti-Indonesia, seperti Markus Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wamsiwor, Ben Tanggahma, Dick Sarwon, dan Jufuwai. Setibanya mereka di Belanda, mulailah terdengar adanya Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menyuarakan kemerdekaan Papua.
Perihal penjarahan yang dilakukan oleh militer RI di Papua, tampaknya bukan hal asing. Skripsi Yuling Malo menggambarkan bahwa pada tahun 1965 dan 1966, keadaan ekonomi di Indonesia pada umumnya sangat buruk, dan memberikan pengaruh sangat terasa di Papua. Penyaluran barang-barang kebutuhan pangan dan sandang ke Papua sering terlambat. Ditambah pula dengan tindakan petugas RI yang memborong barang-barang yang ada di toko dan mengirimnya ke luar Papua untuk memperkaya diri masing-masing.
Namun, kemudian Belanda meninggalkan Papua pada akhir bulan Desember 1962 yang diikuti pula oleh perginya tokoh pro-kemerdekaan Papua yang anti-Indonesia, seperti Markus Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wamsiwor, Ben Tanggahma, Dick Sarwon, dan Jufuwai. Setibanya mereka di Belanda, mulailah terdengar adanya Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menyuarakan kemerdekaan Papua.
Perihal penjarahan yang dilakukan oleh militer RI di Papua, tampaknya bukan hal asing. Skripsi Yuling Malo menggambarkan bahwa pada tahun 1965 dan 1966, keadaan ekonomi di Indonesia pada umumnya sangat buruk, dan memberikan pengaruh sangat terasa di Papua. Penyaluran barang-barang kebutuhan pangan dan sandang ke Papua sering terlambat. Ditambah pula dengan tindakan petugas RI yang memborong barang-barang yang ada di toko dan mengirimnya ke luar Papua untuk memperkaya diri masing-masing.
"Akibatnya
Papua mengalami kekurangan pangan dan sandang. Kondisi yang demikian ini tidak
pernah dialami oleh rakyat Irian Jaya pada masa penjajahan pemerintahan
Belanda," demikian Yuling Malo dalam skripsinya.
Editor : Eben E. Siadari
Sumber : http://www.satuharapan.com/read-detail/read/dokumen-rahasia-as-ungkap-bukti-baru-perjuangan-papua-merdeka
0 komentar:
Posting Komentar